Indonesia, negara dengan cadangan nikel laterit terbesar di dunia, kini berada di garis depan revolusi energi bersih. Nikel, sebagai komponen vital dalam baterai kendaraan listrik (EV), menempatkan posisi Indonesia strategis dalam rantai pasok global. Namun, di balik potensi besar ini, terdapat kompleksitas dan tantangan signifikan yang perlu diurai.

Hilirisasi Nikel: Kebijakan, Investasi, dan Dampak Ekonomi

Pemerintah Indonesia mengambil langkah drastis dengan melarang ekspor bijih nikel mentah sejak Januari 2020. Kebijakan hilirisasi ini bertujuan meningkatkan nilai tambah komoditas di dalam negeri dan mendorong industrialisasi. Dampak langsungnya adalah gelombang investasi asing, terutama dari Tiongkok, yang mengalir untuk membangun fasilitas pengolahan nikel atau smelter.

Investasi ini memang membawa keuntungan ekonomi yang signifikan. Data Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan bahwa total investasi asing di sektor logam dasar mencapai USD 15,3 miliar pada tahun 2022, meningkat 76,5% dari USD 8,6 miliar pada tahun 2021. Sebagian besar peningkatan ini didorong oleh proyek-proyek terkait nikel. Meski demikian, keberlanjutan dan dampak jangka panjang dari model investasi ini masih menimbulkan pertanyaan.

Ambisi Ekosistem Baterai EV dan Tantangan Lingkungan

Indonesia memiliki cita-cita besar untuk menjadi pemain kunci dalam rantai pasok baterai EV global. Ambisi ini melampaui sekadar penambangan nikel, dengan target menjadi produsen komponen baterai hingga kendaraan listrik utuh. Ketersediaan cadangan nikel laterit melimpah menjadi modal utama untuk produksi nikel sulfat, prekursor penting baterai EV.

Namun, mewujudkan ambisi ini tidaklah mudah. Proses pengolahan nikel menjadi bahan baku baterai yang layak membutuhkan teknologi canggih seperti High-Pressure Acid Leaching (HPAL). HPAL menghasilkan limbah residu yang dikenal sebagai tailing. Pengelolaan tailing ini, terutama pembuangan ke laut dalam (Deep-Sea Tailings Disposal/DSTD), menjadi isu lingkungan yang sangat sensitif dan mendapat sorotan.

Berbagai organisasi lingkungan dan masyarakat sipil menyoroti potensi dampak negatif DSTD terhadap ekosistem laut. Kekhawatiran ini beralasan, mengingat DSTD berpotensi mengganggu keanekaragaman hayati laut dan kualitas air. Oleh karena itu, pencarian solusi pengelolaan limbah yang berkelanjutan dan minim risiko lingkungan menjadi krusial.

Dominasi Asing, Ekuitas Ekonomi, dan Dampak Sosial

Meskipun kebijakan hilirisasi nikel bertujuan untuk kemandirian ekonomi, dominasi investasi asing, khususnya dari Tiongkok, menjadi sorotan. Sebagian besar fasilitas smelter di Indonesia merupakan joint venture atau sepenuhnya dimiliki oleh investor Tiongkok. Kondisi ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana manfaat ekonomi benar-benar dinikmati oleh Indonesia.

Peningkatan ekspor olahan nikel memang signifikan, melonjak dari USD 1,1 miliar pada tahun 2014 menjadi USD 30 miliar pada tahun 2022, dengan proyeksi peningkatan berkelanjutan. Namun, ada argumen bahwa keuntungan ini mungkin belum sebanding dengan biaya lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Selain itu, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) lokal juga masih terbatas.

Studi oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti bahwa meskipun ada lonjakan ekspor, kontribusi hilirisasi nikel terhadap penerimaan negara (pajak dan royalti) masih relatif kecil dibandingkan dengan keuntungan perusahaan-perusahaan yang terlibat. Hal ini mengindikasikan bahwa struktur kontrak dan kebijakan fiskal mungkin memerlukan peninjauan ulang untuk memastikan pembagian keuntungan yang lebih adil.

Di samping isu DSTD, penambangan nikel di Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan lingkungan dan sosial lainnya. Pembukaan lahan untuk tambang kerap menyebabkan deforestasi, kerusakan habitat, dan erosi tanah. Ini berdampak langsung pada masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada hutan serta lahan untuk mata pencarian mereka.

Pencemaran air dan udara akibat aktivitas penambangan dan pengolahan juga menjadi masalah serius. Limbah cair dari smelter, jika tidak diolah dengan baik, berpotensi mencemari sungai dan sumber air minum. Sementara itu, emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, yang sering digunakan untuk memasok energi smelter nikel, turut berkontribusi pada perubahan iklim.

Masa depan hilirisasi nikel Indonesia penuh dengan potensi sekaligus tantangan besar. Untuk mengoptimalkan manfaatnya secara berkelanjutan, Indonesia perlu mengatasi isu-isu krusial ini. Pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah-langkah proaktif.

  • Memperkuat regulasi dan penegakan hukum lingkungan secara tegas.
  • Mendorong adopsi teknologi pengolahan nikel yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi ketergantungan pada DSTD.
  • Meningkatkan transfer teknologi serta investasi dalam pendidikan dan pelatihan vokasi untuk menciptakan tenaga kerja lokal yang kompeten.
  • Mengevaluasi kembali struktur kepemilikan dan kebijakan fiskal guna memastikan bagi hasil yang lebih adil dan optimal bagi negara.
  • Mencari diversifikasi pasar dan sumber investasi untuk mengurangi dominasi satu negara.